Skip to main content

Featured

Menjadi Wanita Kuat itu Keharusan (Self Healing Melalui Kartini)

 

https://pxhere.com/id/photo/1028448

Semakin dewasa, kita semakin berbeda dalam menyikapi kehidupan kita. Semakin dewasa kita dihadapkan pada problem kehidupan yang semakin beragam. Memutuskan sesuatu yang tidak hanya memikirkan kepuasan diri sendiri, tapi juga melibatkan kebahagiaan oranglain disekitar kita.

Hidup terus bergerak, dan membutuhkan problem solving didalamnya. Socrates pernah mengatakan bahwa wajarnya manusia, ketika semakin tinggi pendidikannya maka semakin luas pengetahuannya, semakin luas wawasannya maka semakin bijaksana pula tindakannya.

Tidak selamanya problem kehidupan harus disikapi dengan kesedihan, Ibnu Al-Qoyyim pernah menyinggung keadaan ini, bahwa syaitan itu lebih menyukai manusia yang murung dan bersedih. Disini, tersimpulkan bahwa tidak banyak orang yang berhasil menyikapi masalahnya. Dalam kesedihan yang berlarut, menjadikan manusia semakin murung, galau, terus menangis, menyalahkan kegagalan diri, bahkan menyalahkan ketentuan dari Allah. Sehingga wajar, jika dalam kesedihan yang berlarut-larut - syaitan ikut andil didalamnya, mendorong manusia untuk berpikir negatif dan overthinking terhadap kekuasaan Allah.

Melalui pengetahuan, manusia mempergunakan akal untuk kembali bergerak dan bertindak yang lebih bermanfaat. Boleh menangis, boleh bersedih, tapi sekedarnya, karena fase itu akan segera berlalu. Dan tidak menunggu fase baru untuk datang. Kita lah yang mendorong fase itu tercipta, fase bangkit - fase dimana kita menertawakan ketidaktahuan kita di masa lalu, dan mengatakan “Aku akan lebih siap dan lebih kuat dengan problem – problem  selanjutnya, aku akan lebih bijaksana mengambil keputusan, dan aku akan lebih berhati-hati menyimpulkan keadaan”.

Kartini mengatakan sebagai perempuan kita berhak untuk tahu dan berpendidikan “Saya yakin sedalam-dalamnnya, bahwa wanita dapat memberi pengaruh pada masyarakat, maka tidak ada yang lebih saya inginkan dari menjadi guru, supaya kelak saya mendidik gadis-gadis kita. Untuk tidak taqlid terhadap budaya, tradisi dan agama – biar kritis dan sadar kalau mereka sedang ditindas – saya ingin menuntut anak-anak, membentuk wataknya dan mengembangkan otaknya yang muda, supaya mereka kelak dapat meneruskan segala hal baik lainnya. Jika para perempuan itu mendapatkan pendidikan yang baik, maka  itu menjadi hadiah yang lebih membahagiakan bagi masyarakat kita.”

Lagi – lagi perempuan dituntut untuk kuat, didorong untuk menjadi perempuan yang siap dan berkemajuan dengan kehidupan. Karena majunya perempuan bukan berarti kalahnya laki-laki, jusrtu semakin kuat wanitanya semakin kuat generasinya dan semakin kuat pula negaranya.

Hal ini senada dengan makna “wanita” menurut orang Jawa, dimana akronim dari “Wani di Toto” (berani untuk ditata), Ust. Dr. Fahruddin dalam kajiannya menegaskan bahwa dalam hidup ini tidak hanya butuh orang yang berani untuk menata, namun juga membutuhkan orang yang berani untuk ditata. Sebagian besar dunia kacau salahsatunya disebabkan karena susahnya menemukan orang yang bisa untuk diatur. Hingga muncul perumpamaan bahwa sebaik-baiknya pemimpin, jika tidak ada wanitanya (red: wani ditoto) tidak akan mencapai puncak keberhasilan.

Maka, karakter feminim perempuan mengatakan bahwa atribut sebagai perempuan tidaklah perlu disesali, justru dalam diri perempuan memiliki kesiapan mental yang double, karena kesiapan orang yang diatur jauh lebih banyak dibanding hanya mengatur. Jika mengatur manusia bisa membebaskan dirimereka, tentu berbeda dengan orang yang diatur yang harus lebih menerima – dan praktiknya tidaklah sederhana.

Sehingga sangat sinkron terhadap kalimat masyhur “dibalik laki-laki yang sukses pasti terdapat perempuan yang tangguh”. Bagaimanapun hebatnya laki-laki, mereka tidak akan mampu membawa dunia pada puncak kemajuan dan peradaban. Bukankah, dunia hanya terdiri dari 2 orang saja, laki-laki dan perempuan. Jika laki-laki yang hanya dipersilahkan untuk maju, maka peradaban hanya mencapai setengah kemajuan, dan setengahnya lagi ada ditangan perempuan. Jika perempuan tidak diberi tempat untuk menjadi orang berkualitas, meminggirkan mereka, perempuan di diskriminasi, dikalahkan dan dilemahkan, artinya kita sedang menciptakan generasi lemah dan terpinggirkan.

Kasus ini menjadi gambaran penting, bahwa agama pun tidaklah diskriminasi, dimana memandang setara keduanya, dinilai dan dihargai secara sama.

Kartini kembali menegaskan:

“Bukan tanpa alasan, orang mengatakan kebaikan dan kejahatan dimulai dari anak bersama air susu seorang ibu, alam sendirilah yang kemudian menuntun manusia untuk melakukan kewajiban di bumi. Sebagai Ibu, ia lah pendidik pertama bagi anaknya, dipangkuannya anak mampu belajar merasa, berpikir dan berbicara. Kebanyakan hal pendidikan pertama bukanlah tanpa arti untuk seluruh hidupnya, melalui tangan Ibulah yang meletakkan benih kebaikan dan kejahatan di dalam hati manusia yang tidak jarang sepanjang hidupnya. Lalu bagaimana dengan ibu Jawa sekarang dapat mendidik anak-anaknya jika mereka sendiri tidak terdidik, peradaban dan kecerdasan Jawa tidak akan maju dengan pesat jika perempuannya masih terbelakang ”.

 “Perempuan harus lebih kuat, karena dialah yang membangun generasi” - Kartini

 

 

Comments

Popular Posts