Dalam kitab Ihya
Ulumuddin, sang pengarang Kitab Al - Imam Al-Ghozali mengemukakan bahwa “Ilmulah
yang membedakan manusia dari binatang. Dengan ilmu manusia menjadi mulia, bukan
dari segi fisiknya, karena onta jauh lebih kuat; bukan pula dengan kebesaran tubuhnya,
sebab gajah pasti lebih besar melebihinya; juga bukan dengan keberaniannya,
sebab singa lebih berani darinya... karena manusia diciptakan hanya untuk ilmu.”
Bahkan, pendidikan dalam konsep Islam haruslah mencapai dua hal, yaitu: Pertama, mendorong manusia untuk
mengenal Tuhannya hingga ia sadar untuk menyembah-Nya dengan penuh keyakinan
dan mematuhi syari’at dan ketentuan Ilahi, Kedua,mendorong
manusia untuk memahami sunnah Allah di alam raya ini, menyelidiki bumi serta
memanfaatkannya untuk melindungi iman dan agamanya.
Pendidikan menurut KH. Hasyim Asy’ari
adalah upaya memanusiakan manusia secara utuh, sehingga manusia bisa bertaqwa
kepada Allah S.W.T., dengan benar-benar mengamalkan segala perintah-Nya, mampu
menegakkan keadilan di muka bumi, beramal shaleh dan mashlahah, hingga
menyandang predikat sebagai makhluk yang paling mulia dan lebih tinggi
derajatnya dari segala jenis makhluk Allah yang lainnya.
Dengan
demikian, pendidikan bukan hanya berperan untuk mengambangkan daya kreativitas
dan produktivitas, namun juga berperan sebagai upaya mengembangkan kualitas
dalam penanaman nilai-nilai ilahi maupun insani atau kemanusiaan. Hingga
Athiyah Al-Abrasyi menyimpulkan bahwa pendidikan moral merupakah ruh dari
pendidikan Islam itu sendiri.
Pendidikan pada dasarnya merupakan
suatu upaya pedadogis untuk mentransfer sejumlah nilai yang dianut oleh
masyarakat suatu bangsa kepada sejumlah subjek didik melalui proses
pembelajaran. Sistem nilai tersebut tertuang
dalam sistem pendidikan yang dirumuskan dalam Undang-Undang Dasar dan
Perundang-undangan, yang didalamnya terdapat sebuah pandangan filosofis suatu
bangsa. Oleh karena itu, secara sadar dapat dimaklumi bahwa tujuan pendidikan
dipengaruhi oleh filsafat hidup seseorang atau suatu negara itu sendiri.
KH. Hasyim Asy’ari juga menambahkan bahwa
tujuan ilmu pengetahuan adalah mengamalkannya, demikian ini agar dapat menghasilkan
buah dan manfaat sebagai bekal untuk kehidupan di akhirat kelak. Apapun jenis
ilmu pengetahuannya boleh untuk dikaji dan dipelajari, sesuai porsi kebutuhan
demi mendapatkan kebahagiaan di dunia, beliau menambahkan bahwa hierarki
pengetahuan kedalam 3 bagian, yaitu: ilmu pengetahuan yang tercela, ilmu
pengetahuan yang baik namun menjadikan tercela karena porsi yang salah, dan
pengetahuan yang terpuji yang memberi kemanfaatan.
Dijelaskan pula dalam
buku Dekonstruksi Tradisi karya Issa
J. Boullata, Abdul Malik seorang pemikir Mesir mengatakan bahwa Islam adalah
pengalaman historis yang dialami oleh banyak masyarakat sebagai sebuah
kebudayaan, agama, filsafat kehidupan, sistem politik dan perisai ketika
dihadapkan pada agresi dan dominasi asing. Dalam pandangannya, ia memahami
kekhasan kesatuan nasional atau kemasyarakatan adalah esensi untuk mencapai
kemajuan masyarakat yang didasarkan pada pembebasan dan unifikasi, karena
pemahaman tersebut mampu membuka elemen-elemen kontinuitas suatu kelompok yang
tidak tampak selama berabad-abad yang
harus dikuatkan lagi untuk mencapai sukses.
Dalam bukunya yang berjudul Islam dan Budaya Lokal, Khandziq mengutip dari Nasruddin Razak
dalam buku Dienul Islam menjelaskan
bahwa Ajaran Islam adalah kandungan isi Alqur-an yang diperkuat dengan
Al-Hadits. Secara bahasa Al-Qur’an adalah bacaan, seperti dalam firman Allah
dalam surat Al-Qiyamah:75 “Sesunguhnya mengumpulkan Al-Qur’an (didalam dadamu)
dan (menetap) bacaannya (pada lidahmu);
(karena itu), jika Kami telah selesai membacakannya, hendaklah kamu ikuti
bacaannya” (Q.S. Al-Qiyamah:75)
Paradigma multikultural secara implisit juga menjadi
salah satu fokus dari Pasal 4 Undang-undang N0. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, pada Bab III yang membahas prinsip penyelenggaraan
pendidikan. Melalui pasal ini dijelaskan bahwa pelaksanaan pendidikan harus
diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi
hak asasi manusia (HAM), nilai keagamaan, nilai kultural (budaya) dan
kemajemukan bangsa, sesuai dengan nilai-nilai dasar Negara, yakni Pancasila.
Sebagaimana Kata Multikultural
merupakan kata sifat yang dalam bahasa Inggris berasal dari dua kata, yaitu multi dan culture. Secara umum, kata multi berarti banyak, ragam atau aneka.
Sedangkan kata culture dalam bahasa
Inggris memiliki beberapa makna, yaitu kebudayaan, kesopanan, dan pemeliharaan,
sehingga ini menjadi alasan mengapa Pendidikan Islam yang berbasis Multicultural sangatlah dibutuhkan dan
begitu penting.
Melalui dasar yuridis ini, maka pelaksanaan pendidikan di
Indonesia secara legal formal tentulah perlu memperhatikan aspek-aspek
demokratis, keadilan, HAM, nilai-nilai atau norma (values) serta
pengakuan terhadap aspek keragaman. Pengakuan terhadap segala bentuk keragaman
tentu saja tidak cukup, karena itu diperlukan upaya untuk menyikap keragaman
dengan perlakukan yang berlandaskan pada asas keadilan.
Setiap bangsa di dunia ini siap untuk
mengalami proses kulturasi, karena manusia mempunyai tabiat untuk menjadi
berbudaya. Maka, pada jaman modern ini, sejumlah besar para peneliti
menggunakan kata “kebudayaan” pada segala hal yang berkaitan dengan kemajuan
dan peningkatan manusia dalam berbagai bidang, seperti bahasa, sastra, seni
rupa, industri, perdagangan dan semua manifestasi kegiatan manusia yang
mengantarkannya pada kemajuan dan peningkatan, serta menunjukkan jalan baginya
pada kehidupan manusia yang terhormat.
Adapun Karakteristik
pendidikan yang multikultural
tersebut antara lain: pertama,
pendidikan yang berprinsip pada demokrasi, kesetaraan dan keadilan. Kedua, prinsip demokrasi, kesetaraan dan
keadilan merupakan prinsip yang
mendasari pendidikan multikultural, baik pada level ide, proses, maupun
gerakan. Karakteristik ini agaknya sejalan dengan program UNESCO tentang Education for All (EFA), yaitu program
pendidikan yang memberikan peluang yang sama kepada semua anak untuk memperoleh
pendidikan. Bagi UNESCO, EFA merupakan jantung kegiatan utama dari kegiatan
kependidikan yang dilakukan selama ini.
Pendidikan yang berorientasi pada kemanusiaan,
kebersamaan dan kedamaian untuk mengembangkan prinsip demokrasi, kesetaraan dan
keadilan dalam kehidupan bermasyrakat, terutama di masyarakat yang heterogen,
diperlukan orientasi hidup yang universal. Di antara orientasi hidup yang
universal adalah kemanusiaan, kebersamaan, dan kedamaian. Orientasi hidup yang
universal ini merupakan titik orientasi bagi pendidikan multikultural. Dengan
demikian, pendidikan multikultural menentang adanya praktik-praktik hidup yang
menodai nilai-nilai kemanusiaan, kebersamaan, dan kedamaian seperti kekerasan, permusuhan, konflik dan individualistik.
Pendidikan yang mengembangkan sikap mengakui,
menerima dan menghargai keragaman. Untuk mengembangkan orientasi hidup kepada
kemanusiaan, kebersamaan dan kedamaiaan di tengah-tengah masyarakat yang
majemuk diperlukan sikap sosial yang positif. Sikap sosial yang positif ini,
menurut Donna M. Gollnick dan Lawrence A. Blum antara lain, mengambil bentuk
kesediaan untuk mengakui, menerima dan menghargai keragaman. Pendidikan
multikultural memiliki perhatian kuat terhadap pengembangan sikap-sikap sosial
yang positif tersebut. Dengan demikian, pendidikan multikultural menolak
sikap-sikap sosial yang cenderung rasial, stereotip (mengejek objek tertentu)
dan berprasangka buruk kepada orang atau kelompok lain yang berbeda suku, ras,
bahasa, budaya dan agama.
Menurut Donna, sikap menerima, mengakui dan
menghargai keragaman ini diperlukan dalam kehidupan sosial di masyarakat yang
majemuk. Karena dalam pandangannya, penerimaan, pengakuan, dan penghargaan
terhadap keragaman laksana mosaik dalam suatu masyarakat. Di dalam mosaik
tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil (microculture) yang membentuk terwujudnya
masyarakat yang lebih besar (macroculture).
Sementara itu, bagi Lawrence, penerimaan, pengakuan, dan penghargaan terhadap
keragaman merupakan sikap sosial yang diperlukan dalam membangun hubungan
sosial yang harmonis di dalam masyarakat yang majemuk.
Dengan memperhatikan uraian-uraian tentang
karakteristik pendidikan multikultural di atas jelaslah bahwa ada kesesuaian
antara nilai-nilai multikultural dalam perspektif Barat dengan nilai-nilai
multikultural dalam perspektif Islam. Meskipun demikian, sember kebenaran dari
nilai-nilai multikultural tersebut berbeda. Jika nilai-nilai multikultural dalam perspektif Barat bersumber dari filsafat
dan bertumpu pada hak-hak asasi manusia, maka nilai-nilai
multikultural dalam perspektif Islam bersumber dari wahyu.
Nilai Multikultural
Perspektif Barat : Demokrasi,
kesetaraan dan keadilan; Kemanusiaan, kebersamaan, dan kedamaian; Toleransi, empati, simpati, dan solidaritas social;
Nilai Multicultural
Perspektif Islam : Al-Musyawarah,
al-musawah dan al-‘adl; Hablum
min an-nas, al- ta’aruf, al-ta’awun dan
al-salam; Al-ta’addudiyat, al-tanawwu’, al-tasamuh, al-rahmah, al-‘afw dan al-ihsan.
Keberadaan
pendidikan multikultural yang dikembangkan sesuai dengan nilai-nilai Islam
serta dinamika masyarakat modern, sesungguhnya sangat tepat untuk menjawab
sekian banyak persoalan yang menyangkut dimensi perbedaan dan keragaman. Perkembangan
kehidupan manusia yang semakin cepat tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu,
sangat memerlukan sebuah kesadaran individu yang kemudian berimplikasi pada
kesadaran kolektif untuk menerima dan menempatkan segala perbedaan dan
keragaman tersebut sebagai bagian yang perlu dihargai dan dihormati.
Sumber bacaan :
J.
Boullata,Issa. 2001. Dekonstruksi
Tradisi. Yogyakarta : LkiS.
M.
Noor. Rohinah. 2010. KH. Hasyim Asy’ari
memodernisasi Nu dan Pendidikan Islam , Jakarta : Gafindo.
Rois, Ahmad. 2013. Jurnal IAIN Tulungagung. Pendidikan Islam Multikultural. Sekolah
Tinggi Ilmu Tarbiyah STIT Kerinci Indrapura.
Comments
Post a Comment
Terimakasih atas kunjungannya, silahkan share tulisan ini jika bermanfaat bagi anda dan orangain yah, salam dari aku - Kumala :)